HUMBAHAS-OGENEws.com-Jalan yang menghubungkan tujuh Desa di Kecamatan Pakkat, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas) rusak parah.
Ketujuh Desa itu yakni, Desa Purba Bersatu, Desa Purba Sianjur, Desa Purba Bersatu, Desa Karya, Desa Manalu, Desa Sipagabu dan Desa Banuarea.
Ironisnya, Jalan yang dibangun sejak jaman kolonial Belanda itu selalu luput dari perhatian pemerintah, meskipun daerah ini salah satu penopang ekonomi masyarakat di Humbahas dari sektor Pertanian, karena menghasilkan sejumlah komoditi.
Selain itu, daeah ini juga memiliki kandungan alam yang tak kalah penting dari daerah lain di Sumatera. Salah satu contohnya adalah Emas di Dolok Pinapan, Desa Banua Rea, Kecamatan Pakkat. Puluhan tahun silam pernah dilakukan upaya penambangan oleh pengusaha asing meskipun tidak dilanjutkan.
Dari sisi perairan, desa ini memiliki dua sungai besar (Aek Sirahar dan Aek Sapparungan). Kedua sungai ini bisa dipadukan untuk membangun sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Dalam bidang pariwisata, daerah ini memiliki sejumlah tempat yang unik, indah hingga tempat yang penuh dengan cerita mitos atau horor yang dapat menarik perhatian tourist domestik hingga ke manca Negara.
Salah satu contohnya adalah Pagar Batu di Pulogiring, Desa Manalu, Sampuran (Air terjun) Sapparungan, Sampuran Parmaduan di Parmaduan dan Hariara Nauli, Desa Manalu, Saribu liang (seribu gua) di Desa Banuarea dan puluhan lainnya.
Namun, walaupun tujuh desa ini menyimpan kandungan alam yang luar biasa, tetapi tingkat pendapatan perkapita masyarakatnya seperti pepatah, ‘masih jauh panggang dari api’. Sebab, cost yang dikeluarkan masyarakat jika menjual hasil buminya ke pasar diperlukan biaya yang tidak sedikit, karena jalur transportasinya sangat sulit, petani pun tercekik. Apalagi pada musim hujan, jalan menjadi licin dan berlumpur. Derita itu menjadi lebih sempurna dikala tengkulak mampu mengendalikan harga komoditi petani.
Salah satu ukurannya adalah, rata-rata anak-anak petani yang berasal dari tujuh desa ini hanya mampu mengenyam pendidikan hingga SLTA saja. “Holan tammat SMA pe angka dak-danak on nungnga Puji Tuhan, dang pola kuliah, langsung mangaratto ma (Menyekolahkan anak-anak ini sampai ke tingkat SMA sudah Puji Tuhan, tidak perlu kuliah tetapi langsung merantau saja),”kata K Manalu, salah satu warga.
Sebab, sambung dia, topangan hidup keluarganya hingga saat ini hanya mengandalkan hasil sawahnya saja, meskipun sesekali ditopang oleh karet dan ubi. “Kami hanya mengandalkan penjualan beras, walaupun ada sokongan dari karet. Tetapi, harganya kadang sangat murah dan ubi, yang harganya sama seperti karet (murah),”pungkasnya.Bun